Point B

Mau Mahal Malah Obral

Kelucuan itu ternyata menjadikan dirinya semakin melebarkan pandangannya terhadap apa yang dilihatnya. Memberikan perhatian lebih kepada kondisi yang teramat fenomenal, menurut dirinya.

Analogi yang disampaikan dirinya kepada diriku begini. Pernahkah didapati penjual yang ingin rugi. Dipastikan tidak ada yang mau rugi, sebab niatnya berdagang adalah keuntungan. Rugi bukan semata tidak mendapatkan selisih harga beli dengan harga juga, namun semuanya, tidak didapatkan dari aktivitas berdagang itu. Barang tentu, sudah jelas kelihatan bahwa setiap orang suka dengang yang namanya keuntungan.

Saking senangnya dengan keuntungan, tidak sedikit juga pedagang yang akhirnya bercurang ria menggunakan ide bulus untuk meraup keuntungan. Mencampur beras berkualitas tinggi dengan beras yang jelek. Mencampur minyak dengan bahan bakar lain. Mengurangi timbangan, dan sebagainya. Apa kaitanya dengan dirimu.

Dirimu juga sama, pastinya tidak mau dilecehkan, tidak sudi dihinakan, tapi lucunya, dirimu dan teman-temanmu melakukan perbuatan-perbuatan yang menuju kea rah sebaliknya. Pastinya tidak akan mungkin. Ingin mulia, tapi berpakaian seadanya. Maksud seadanya, hingga terlihat celana dalam dirimu, lekukan tubuhmu. Serta terus-terusan berpacaran, bergonta-ganti secara rutin malah. Sungguh menyeramkan.

Bagaimana jadi mahal jika dirimu dan teman-temanmu mengobral kesana kemari, hingga sebagian orang malah muak melihat tingkah laku dirimu. Pastinya dirimu juga tidak nyaman dengan hal demikian. Harusnya dirimu berterimakasih kepada mereka.

Tapi ada juga yang iseng, melecehkan dirimu, menggodamu, menjamahmu, malahan dirimu senang dengan orang-orang yang memperlakukan dirimu seperti itu. Naudzubillah.


Minta di goda, eh malah marah di goda!

Diriku mempertanyakan sesuatu, menurut diriku masuk dalam kategori sebab akibat, ada asap pasti ada api, yang pastinya terkait dengan dirimu. Kepada dirinya, diriku mempertanyakan. Sesuatu yang membuat gundah gulana di hati diriku.

Begini!

Bahwa dirimu yang memutuskan untuk memamerkan celana dalam. Diantara pilihan memamerkan atau tidak memamerkannya. Bahwa dirimu juga yang memutuskan untuk menjajakan susu kesiapa saja. Dan juga dirimulah yang memutuskan untuk memakai pakaian ketat.

Jika memang benar semua itu telah dirimu diputuskan, maka seharusnya dirimu sudah siap mendapatkan perlakuan atas tindakan yang dirimu lakukan. Itu yang pertama. Kedua, dirimu sebetulnya menginginkan sesuatu dari keputusan yang dirimu ambil. Sebut saja keinginan itu adalah dirimu ingin menjadi pusat perhatian. Inginnya dirimu, semua tertuju pada dirimu, setiap mata memandang kepada dirimu. Ketiganya, secara sadar dirimu juga yang meminta untuk digoda-in.

Lalu, kenapa dirimu malah jadi marah-marah, ada orang yang menggoda dirimu. Padahal dirimu yang menginginkannya. Dirimu dan teman-temanmu berpakaian semaunya. Memamerkan celana dalam, menjajakan susu, memperlihatkan detil dari setiap lekukan tubuh dirimu.

Wajar saja jika ada orang yang memang benar-benar memperlakukan dirimu dan teman-temanmu menjadi bahan tontonan, bahan utama dalam mengumbar imajinasi birahi, bahkan sampai ke tindakan sebagai perilaku yang tidak baik atas dirimu dan teman-temanmu.

Karena itulah yang dirimu inginkan, setiap orang melihat dirimu. Dimana saja kapan saja, sampaipun terbayang-bayang disetiap khayalan nakal.

Menjadi tidak wajar sewaktu dirimu menjadi marah-marah atas tindakan mereka, kelakukan orang-orang yang terkait dengan dirimu. Bisa jadi sebetulnya merekalah yang menjadi korban dirimu. Jangan pula dirimu dan teman-temanmu menyalahkan mereka atas imajinasi atas dirimu dan teman-temanmu, bisa jadi mereka sudah mencoba untuk terus bertahan mengendalikan diri mereka, mengendalikan imajinasi mereka, mengendalikan khayalan mereka, namun tidak juga tertahankan.

Jika sudah menyandu demikian, repot jadinya. dan lagi-lagi sebetulnya dirimu dan teman-temanmu yang berpakaian seperti itu, memamerkan celana dalam, menjajakan susu, menampilkan lekukan tubuh, yang harus merasa rugi, karena memang benar-benar rugi. Bukan lagi perasaan.

Pernahkah dirimu pikirkan, kalau sampai benar-benar tidak terkendali, orang-orang itu, yang terlalu sering mengkhayalkan dirimu dan teman-temanmu, melakukan tindakan anarkis, menggerayangimu secara betulan, memaksakan keinginan mereka kepada dirimu.

Merinding diriku membayangkan demikian. Tidak lagi bisa berucap, selain ber-istighfar.

Dirinya, tidak berkomentar. Setelahnya diriku selesai memaparkan kegundahan hati, barulah dirinya mengucapkan beberapa kalimat. Menghela nafas panjang.

Dirinya berucap. Ya, memang tidak ada asap bila api tidak disulut. Memang hukum kausal masih berlaku dibumi ini. Hanya saja bagaimana solusi untuk semua ini, sebab jika hanya bergulat pada masalah, maka pasti kita akan lelah, dan kelelahan itu mendekati ke kalah.

Diriku beranggapan bahwa solusinya adalah dirimu dan teman-temanmu sebaiknya tidak lagi mengenakan pakaian seperti itu, pakaian yang memperlihatkan celana dalam, yang memamerkan susu, men-detil-kan setiap lekukan tubuhmu. Berpakaianlah sesuai dengan apa yang telah didesain untuk dirimu dan teman-temanmu. Memakaikan kain penutup keseluruh tubuh kecuali muka dan telapak tanganmu.

Tapi dirinya mempunyai pandangan lain. Meski tetap setuju dengan anggapan diriku, namun dirinya membaca dari sudut yang lain. Dirinya memikirkan, mereka yang telah terlanjur sering mengkhayalkan dirimu, meski telah tertutup rapat, tetap saja khayalan itu dapat menembus kain setebal apapun yang dirimu kenakan. Astaghfirullohal’adzim.



Wuih muantab!

No comment. Istighfar only. Astagfirullohal’adzim.



Koleksi mantan

Ternyata fenomena tentang bagaimana bangganya dirimu dalam posisi seken (2nd) bahkan sekennya seken, alias dah benar-benar menjadi barang bekas jika dirimu memang sebagai barang.

Dirinya mengatakan kepada diriku. Saat dirinya pernah menanyakan tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan selain menikah, hubungan keluarga, dan pertalian darah lainnya. Teman dirimu mengatakan kepada dirinya bahwa hubungan itu adalah pacaran, yang didevinisikan sebagai ikatan komitmen untuk menjalin hubungn antara laki-laki dan perempuan dengan landasan kepercayaan, kenyamaan dan ketidakterpaksaan. Tidak saling menyakiti dan saling memahami satu sama lainnya.

Lucunya, jika memang orang berani berpacaran, kenapa malah takut menikah. Padahal secara umum dan khusus, menikah lebih menguntungkan daripada pacaran. Menguntungkan dari pihak laki-laki maupun perempuan. Sebab benar-benar sudah sah dan diakui oleh siapapun. Kok, dirimu dan teman-temanmu memilih berpacaran.

Paling tidak dengan mengenakan pakaian yang menutup auratmu, mengerem dari tindakan konyol seperti pacaran. Sebab rasa malumu, menjaga dari perbuatan seperti itu.

Ada juga yang berkerudung, tapi juga masih berpacaran. Tapinya bisa jadi pakaian yang dikenakan serba ketat, sebab belum sepenuhnya memahami bagaimana sebaiknya memakai jilbab yang telah diatur juga tata caranya.

Kenapa juga dirimu menjadi semakin bahagia, padahal dirimu sebetulnya sedang terhina. Seberapa banyak tangan yang telah meraba tubuh dirimu dan teman-temanmu, seberapa banyak mata yang telah menilik-nilik setiap lekukan tubuhmu, seberapa orang yang telah menikmati harumnya parfum yang melekat pada kulit dirimu dan teman-temanmu.

Satu orang, dua orang, puluhan orang, atau benarkah sampai ratusan orang, bahkan ribuan. Naudzubillah. Seberapa seken dirimu. Tapi kenapa dirimu malah bangga. Mengkoleksi mantan.

Dirinya, menggeleng-gelengkan kepala, sebagai tanda untuk ketidak mengertian atas sikap yang dirimu dan teman-temanmu lakukan. Diriku juga tahu akan apa, dirasakan oleh dirinya.

Dan semakin lucu adalah sikap dari orangtua dirimu, mereka resah, setiap saat dirimu tidak diantar oleh seorang laki-laki. Pacar katanya, bisa jadi juga dirimu terdesak oleh dorongan orangtua dirimu untuk berpacaran. Orangtua dirimu dan orangtua teman-temanmu seolah panic tiada terhingga, seolah dirimu tidak laku-laku, yang dimaksud adalah tidak mempunyai pacar. Sepertinya senang saat dirimu menjadi seken(2nd). Orangtua yang lucu.

Diriku juga semakin heran, kenapa begitu lucunya fenomena yang terjadi disekitar diriku dan dirinya terkait dirimu dan teman-teman, juga orantua dirimu dan orangtua teman-temanmu.



Seribu tiga, seribu tiga!

Kalau bisa dijual dengan harga tinggi kenapa malah diobral, jika saja masih laku dipasarkan dengan nilai yang tinggi kenapa musti dijajakan yang menurunkan nilai terendah. Sebagai pedagan juga kenapa tinggal mempertahankan harga jual tinggi daripada diobral.

Diriku mempertanyakan dengan analogi seperti ini kepada dirinya, yang sebetulnya sesuatu hal yang diriku tanyakan kepada dirinya itu adalah terkait dengan dirimu, kenapa menurunkan harga diri begitu bawah, bahkan sampai pada istilah diobral.

Meski dirinya tidak langsung merespon akan pertanyaan yang diriku sampaikan kepadanya, namun jelas bahwa dirinya sedang menelaah rangkaian kata dari diriku menjadi sebuah pertanyaan kalimat. Pelan tapi pasti, karena memang seringnya dirinya seringkali melihat dari sudut pandang yang lain, memberikan gambaran umum dan mengutarakan hasil penglihatannya terhadap suatu kondisi tertentu.

Dirinya bertanya pada diriku, kenapa analoginya harus seperti itu. Sekejap diriku terdiam, entah apa yang menjadikan diriku mengeluarkan analogi seperti itu. Tapinya diriku jelas tidak asal-asalan. Diriku berkata pada dirinya, bahwa analogi yang paling mudah dan mempunyai relevansi atas dirimu adalah sebuah barang dagangan, bukan maksud diriku memberikan bandrol harga kepada dirimu layaknya barang dagangan, bukan juga maksud untuk menyingkirkan sisi manusiawi dari dirimu, tapi lagi-lagi diriku berfikir analogi inilah yang lebih layak untuk menggambarkan dirimu. Jika ditanya alasannya, pastinya diriku akan memberikan banyak alasan diantaranya adalah dirimu dan teman-temanmu memang benar-benar seperti manusia yang diperjualbelikan.

Dirinya tidak juga berkeberatan atas apa yang diriku sampaikan, atas dasar pikiran diriku membuat analogi untuk dirimu seperti itu, juga alasan yang diriku sampaikan, meski hanya satu dari beberapa alasan yang diriku miliki atas pengambilan keputusan untuk analogi dirimu. Mudah-mudahan dirimu dapat bersikap sama dengan dirinya, atau kalaupun tersinggung atas analogi yang diriku pikirkan itu beserta alasannya, paling tidak ada dua kemungkinan utama. Kemungkinan pertama yaitu dirimu, merasa tersinggung sebab dirimu memang benar-benar seperti layaknya barang dagangan seperti yang diriku analogikan. Dan yang kedua, tersinggung sebab dirimu tidak sama sekali melakukan hal itu, namun dirimu tersinggung sebab dirimu tidak melakukan tindakan apapun melihat teman-teman dirimu yang serupa dengan analogi tersebut, sehingga dirimu benar-benar marah.
Dirinya berkata kepada diriku, mengulangi pemikiran diriku, analogi dirimu. Kalau bisa dijual dengan harga tinggi kenapa malah diobral, jika saja masih laku dipasarkan dengan nilai yang tinggi kenapa musti dijajakan yang menurunkan nilai terendah. Sebagai pedagan juga kenapa tinggal mempertahankan harga jual tinggi daripada diobral.

Kalau saja dirimu itu, memperindah tampilan dan kualitas, pastinya bukan semakin menurun harga yang dirimu dapatkan. Tapi dengan melakukan tindakan yang konyol, yang sebetulnya lebih merugikan dirimu sendiri, dengan memamerkan celana dalam, bagian tubuh belakang, menjajakan susu kesiapa saja, mempertajam setiap lekukan tubuhmu. Pastinya otomatis, dirimu turun harga secara drastic.

Belum lagi dengan mengoleksi pacar, membiarkan banyak tangan menggerayangimu, bukankah itu semakin menurunkan harga dirimu dan teman-temanmu yang melakukan perihal semaacam itu.
Secara umum, sebetulnya dari semua tindakan yang dirimu lakukan sudah sangat jelas, dirimu sendirilah yang rugi. Bahkan sangat rugi. Sebab tidak ada lagi surprise saat seseorang mendapatkan dirimu.